Perayaan Satu Abad NU dan Bingkai Keagamaan

Penulis: Dr. Minan Jauhari, M. Sos —

Perspektif, Limaloka.com — Puncak perayaan memperingati satu abad kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) dilaksanakan pada 7 Februari 2023. Untuk menandai seabad usia NU, berbagai acara digelar secara nonstop selama 24 jam di GOR Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satu ritualan yang dilaksanakan adalah pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani dan selawatan. Resepsinya dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan ulama sedunia.

Yang tidak kalah menarik, rangkaian perayaan seabad NU yang dirancang secara apik ini juga diawali dengan pembacaan istighosah dan puisi serta pemukulan beduk digital. Bahkan, sederet hiburan seperti kasidah, orkhestra, lantunan eolawat, karnaval Nusantara, serta hiburan rakyat lain seperti kuliner Nusantara juga digelar untuk memeriahkan acara ini.

Artikel ini bermaksud mengurai makna di balik meriahnya perayaan satu abad NU yang dikemas dalam beberapa segmentasi. Perayaan 100 tahun NU ini dapat menjadi ruang bagi nahdliyin dalam menegaskan kembali bingkai keagamaan (Islam) sebagai agama yang ramah, toleran, dan kental dengan budaya Nusantara demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

Mengingat segudang pengalaman dalam perjalanannya, khususnya dalam mengawal tatanan kehidupan beragama dan berbangsa selama satu abad ini, berbagai proses dialektika yang telah dialami banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi NU, sehingga menjadi penting untuk ditegaskan kembali dalam momentum memperingati satu abad NU ini.

Apalagi, NU, sebagai organisasi terbesar di Indonesia, yang lahir sejak tahun 1926 ini, telah banyak memberikan warna dan kontribusi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diikat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga bangsa ini terhindar dari disintegrasi dan tetap terjaga keutuhannya meskipun hingga kini tekanan dari ideologi keagamaan tertentu masih mewarnai ruang-ruang publik yang menjadi pilar penting dalam demokrasi kita.

Sebagai jamiyah terbesar di Indonesia, NU menegaskan dirinya sebagi organisasi yang memiliki komitmen kebangsaan dan siap menjadi penjaga NKRI. Setidaknya, komitmen kebangsaan ini telah ditunjukkan oleh NU sejak muktamar di Banjarmasin pada 1936, Resolusi Jihad 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri adharuri bi as-syaukah, hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam pada 1984 di Muktamar NU Situbondo.

Sesuai dengan anjuran dalam upaya membangun keutuhan dalam berbangsa adalah yang pernah dipopulerkan oleh KH Achmad Siddiq (1926-1991), salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926, yang juga berperan penting dalam ikut merumuskan fondasi hubungan Islam dan Pancasila.

Dalam sebuah pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, disebutkan bahwa di antara membangun keutuhan bangsa sehingga tidak terjadi disintegrasi, maka keberadaan Islam harus mampu merawat tiga ikatan persaudaraan, yaitu, ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

Ikatan persaudaraan ini diyakini akan dapat mencairkan ikatan primordial keagamaan, bahkan juga diyakini dapat menjadi modal sossial sehingga dijauhkan dari ancaman disintegrasi bangsa. NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) dipastikan memiliki komitmen dalam upaya merajut berbagai elemen bangsa.

Cinta tanah air ini dipahami sebagai salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Jargon ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari melalui hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Karena itulah menjadi tepat jika terus disematkan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat, dan siap menjadi penjaga NKRI.

 Islam yang Ramah

Membangun bingkai keagamaan yang ramah menjadi penting. Mengingat representasi Islam di Indonesia, khusus bingkai keagamaan yang akhir-akhir ini banyak ditampilkan melalui media-media baru banyak ditandai oleh warna-warni paham ideologi keagamaan.

Hal ini terjadi, selain karena perkembangan masyarakat saat ini lebih ditandai oleh penggunaan teknologi informasi yang cenderung bebas dalam berekspresi, sehingga fasilitas kebebasan ini juga membuka lebar bagi komunitas tertentu untuk eksis bahkan juga berupaya menguasai ruang-ruang baru itu sebagai tempat berekspresi dalam bentuk aksi-aksi dakwah.

Meski dalam aktivitas dakwah, terkadang juga menghasilkan perdebatan-perdebatan paham keagamaan yang tidak pernah ada ujungnya. Apalagi sebagian aktivitas dakwah itu harus dilakukan dengan menggunakan cara pandang  yang cenderung provokatif dan penuh dengan kebencian terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Sehingga pesan keagamaan yang ditampilkan  tidak menunjukkan sikap moderat, toleran, bahkan terkesan penuh dengan nuansa kebencian terhadap komunitas yang berbeda.

Karena itulah keberadaan NU yang lekat dengan nilai-nilai keaswajaan seperti tawasuth, tawazun, dan iktidal ketika dihadapkan pada perbedaan menjadi penting agar bisa ikut terlibat secara aktif mewarnai paham keagamaan, khususnya yang diekspresikan dalam ruang-ruang baru.

Semisal kehadiran NU yang selama ini telah dijalankan melalui NU Online, dan beberapa situs yang lain sehingga dapat memberikan paham keberimbangan bagi khalayak.Terlebih lagi bila NU melalui ruang semacam ini bisa tampil dan menampilkan Islam sebagai agama yang ramah, agama yang moderat dan penuh dengan toleransi, bukan menampilkan Islam sebagai agama yang galak dan intoleran.

Tentu, sebagai ormas Islam dengan basis massa yang besar, NU juga memiliki tanggung jawab besar. Karena itulah NU harus selalu berkomitmen untuk melindungi umatnya dari ancaman paham keagamaan yang disebarkan oleh komunitas keagamaan dengan ideologi-ideologi yang cenderung radikal.

Hemat penulis, dengan perayaan satu abad NU ini, sesungguhnya juga dapat menjadi ruang yang sangat strategis sebagai sarana untuk menegaskan kembali tentang bingkai keagamaan (Islam), yaitu sebagai agama yang ramah, toleran, dan kental dengan budaya Nusantara.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, kegiatan perayaan semacam ini dapat dipahami sebagai media komunikasi yang strategis. Karena itulah bingkai keagamaan, yaitu memahami Islam sebagai agama yang toleran sebagaimana nilai yang terus disematkan kepada NU ini, dapat diteguhkan melalui peringatan satu abad NU ini.

Minimal, peringatan ini bisa menjadi ruang berbagai pengalaman perjalanan NU, terutama selama NU mengawal tatanan kehidupan beragama dan berbangsa yang telah diikat dalam sistem NKRI.

Bingkai keagamaan ini juga bisa menjadi wujud komitmen dalam menjalankan kehidupan berbangsa, sehingga NU turut bertanggung jawab ikut memastikan bahwa bangsa ini benar-benar terhindar dari disintegrasi dan terjaga keutuhannya. Spirit pembaharu ini selaras dengan tema Harlah 1 Abad NU, yaitu “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”.

Mengurai Watak Moderasi Beragama

Persepktif, Limaloka.com — Keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah yang tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan (conditio sine quo non), karena itu salah satu tantangan serius dalam kehidupan beragama dewasa ini adalah bagaimana seorang penganut agama dapat mendefinisikan dan memposisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama orang lain yang berbeda dan beragam. Lebih-lebih,  ditengah pusaran kencangnya arus global dimana persentuhan dan pergaulan antar umat beragama semakin dekat dan intens.

Watak semua agama adalah mencita-citakan kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Tidak ada satu agamapun yang secara teologis membenarkan pemeluknya memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua agama menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan membiarkan kelompok lain ada).

Namun demikian, kendati di kalangan umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan  persaudaraan dan kasih sayang antara sesama manusia, tetapi tidak dengan sendirinya agama menjadi garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan dalam perspektif tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua; ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan bahan bakar untuk membrangus perdamaian manusia. atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi atas nama agama pula manusia saling bermusuhan bahkan saling membunuh satu sama lain.

Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, sosiologis, pragmatis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif  pada wilayah keagamaan pada gilirannya menjadi embrio konflik.

Nah, untuk  menyudahi terjadinya konflik dikalangan umat beragama, sekaligus mengembalikan agama pada fungsi dasarnya sebagai payung harmoni, ketentraman dan kedamaian, maka sikap moderat dan dialog antar umat beragama menjadi urgen dikembangkan sebagai instrumen guna membuka kerangka hubungan dan kerjasama yang saling menentramkan, sekaligus sebagai upaya memperluas inklusifitas visi religiusitas kaum beragama.

Keberagamaan moderat merupakan sebuah cara beragama yang lapang dan terbuka. Sikap terbuka ini akan berdampak pada relasi sosial yang sejuk, sehat dan harmonis antar sesama penganut agama.  Hal ini  berlandaskan toleransi dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk meyakini, menjalani dan mengekspresikan agama yang dianutnya, perbedaan cara beragama ini tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama.

Keberagamaan  moderat merupakan proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran agama yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima dengan penuh kearifan  dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena Islam moderat memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat manusia yang komunal transformatif.

Moderasi agama merupakan salah satu pengejawantahan rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan secara memukau oleh Rasululloh dan sahabatnya di Madinah. Itulah wajah Islam yang orisinil yakni Islam yang moderat, toleran, ramah dan akomodatif.  Model beragama seperti ini, selain secara internal dapat melahirkan konfigurasi keberagamaan yang bijak, menentramkan dan hanif sesuai fitrah asasi manusia, juga secara eksternal dapat mengkonstruk cara beragama yang lapang dan terbuka serta mengutamakan titik temu dan harmonisasi dalam membangun kehidupan majemuk sehingga keberagamaan betul-betul berfungsi secara efektif sebagai rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan.

Sementara itu, dialog umat beragama dinilai penting untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar umat agama. Ketertutupan hubungan antar umat beragama ditengarai mudah menimbulkan kesalah fahaman dan prasangka yang memicu hubungan tidak perfeks antar penganut agama. Untuk meminimalisir impac negatif dari ketertutupan itu, maka mentradisikan dialog dinilai strategis sebagai wahana bagi kerinduan antar umat beragama untuk bertemu secara sejati dan tidak sekedar bersifat  verbalis formalistik.

Dialog bisa diartikan sebagai pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk agama. Dialog adalah jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Ia merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa rendah dan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan. Dialog keagamaan muncul, ketika hubungan antar umat beragama mengalami keretakan dan ketegangan. Mungkin saja, ketegangan itu bukan didasarkan atas perbedaan keyakinan, karena, jika dasar teologis dan doktrinal dari agama-agama mengajarkan sikap toleransi, saling menghormati dan mencintai, maka penyebab gesekan-gesekan dan keretakan itu bisa saja terjadi sebagai akibat bias dari kepentingan politik, ekonomi, sosiologis, dan pragmatis lainnya

Konflik berlatar agama seringkali bersumber dari saling “ketidaktahuan” diantara penganut agama. Saling ketidaktahuan ini, menjadi rintangan di tengah jalan untuk mencapai saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda. Akibat ketidaktahuan itu, maka setiap agama menerapkan standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian standar yang berbeda untuk kepercayaan orang lain. Terjadinya dialog ada hubungannya dengan pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami agama kita sendiri.

Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting bagi para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah pengertian dan dialog berjalan secara harmonis, dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami agama orang lain itu harus bertolak dari pemahaman yang bersipat integral bukan parsial. Disini diperlukan minimal dua persiapan dialog, yakni kesiapan intelektual dan kedewasaan emosional.

Mau bergabung sebagai Kontributor?

Silahkan daftarkan diri anda dengan mengisi data berikut: