Perspektif, limaloka.com — Segala puji milik Allah yang telah memberikan perintah-perintah dan larabgan-larangan-Nya sehingga manusia bisa dengan mudah mengenali kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan.
Sholawat dan salam semoga tetap Allah curahkan kepada penutup para Nabi dan Rosul, Sayyidina Muhammad saw. Amma ba’du.
Sebagai bagian dari umat Islam atau muslim, kita tahu banyak hal yang baik dan yang buruk lantaran adanya ajaran Islam yang bersumber dari Allah swt melalui wahyu dan melalui Rosulullah SAW yang dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni para ulama. Banyak hal yang baik dan yang buruk itu, tanpa susah payah kita sendiri, bisa kita dapatkan. Ya kita ketahui.
Bahwa kita bisa tahu dengan, katakanlah, relatif mudah itu bagai biasa-biasa saja. Itu wajar karena kita hidup di dalam “eko-pengetahuan” yang melimpah di dalamnya pengetahuan agama (baca: Islam). Bak ayam di lumbung padi, bak itu pula kita di lumbung-pengetahuan-agama.
Kita hidup bergelimang pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk. Maka pengetahuan yang baik dan yang buruk yang melimpah ruah itu, menjadi terasa biasa-biasa saja.
Padahal tentu saja itu (pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk) sungguh bukan hal biasa melainkan luar biasa. Amat sangat luar biasa.
Bayangkanlah sejenak, ya bayangkan meski hanya sejenak, bagaimana kita bisa tahu dan memastikan dengan yakin bahwa makan daging babi adalah hal atau perbuatan buruk, andai tanpa wahyu.
Bagaimana kita bisa tahu dan yakin dengan pasti bahwa menyembah Tuhan itu adalah dengan melakukan gerakan dan bacaan yang membentuk apa yang kita sebut dengan shalat itu, jika tanpa wahyu. Dan lain-lain (dan) dan sebagainya-sebagainya.
Memang sebagian hal yang baik yang bisa didapat dari ajaran agama, juga bisa diketahui dan diyakini sebagai hal yang baik oleh kalangan yang tidak beragama sekalipun, misalnya menolong orang yang membutuhkan pertolongan sebagai salah satu contoh, tapi mana bisa tahu dengan yakin bahwa hal itu akan ada balasannya kelak di kehidupan akherat.
Bahkan bagaimana orang bisa tahu dengan yakin bahwa kehidupan akherat itu sendiri ada andaikan saja tanpa wahyu.
Di samping itu, seberapa banyak yang bisa diketahui, andai tanpa infornasi wahyu, dibandingkan apa yang telah diberitahukan oleh wahyu atau agama. Ya, seberapa banyak dan rinci yang mungkin bisa kita ketahui dibandingkan yang telah disediakan oleh wahyu atau agama.
Terhadap semua itu, jika sejenak saja sempat merenungkannya, tentu kita akan mudah mensyukurinya. Mensyukuri petunjuk berupa pengetahuan yang baik dan yang buruk yang kemudian kita kenal dengan “‘syariat Islam” dalam arti luas itu.
Jangankan mikirkan hingga menemukan keyakinan yang pasti, sebanyak hal-hal yang telah diberitahukan oleh wahyu atau agama, sepersekiannya sajapun mungkin belum tentu tuntas bisa dilakukan, sekali lagi, andaikan saja tanpa wahyu atau agama.
Dengan wahyu atau agama, kita bisa dapat anugerah dan kemurahan dari Allah swt berupa pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk sedemikian rupa secara, ibaratnya, F.o.D, bukan C.o.D.
Ya, “Free on Delivery” atau “gratis langsung tiba di tempat,” bukan “‘Cash on Delivery” alias “bayar langsung saat (barang) tiba ditempat.”