Hikmah Manusia Diciptakan Berbangsa-bangsa

Perspektif, Limaloka.com — Manusia diciptakan oleh Allah terdiri dari berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, ada bangsa Eropa, bangsa Asia, bangsa Afrika dan bangsa Arab. Setiap bangsa mempunyai beberapa suku, misalnya Indonesia memiliki suku Madura, Jawa, Batak, Bugis, Sunda dan lain sebagainya. Masing-masing bangsa dan suku mempunyai bahasa sendiri dan mempunyai tradisi sendiri, bangsa Arab memiliki bahasa sendiri dan memiliki tradisi sendiri, Asia memiliki bahasa sendiri dan tradisi sendiri.

Manusia terdiri dari berbangsa-bangsa dan suku mempunyai hikmah yang sangat tinggi dan sangat mendalam.
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Meneteliti.” (QS. Al Hujurat: 49).

Yang menjadi pertanyaan apa hikmah di balik manusia terdiri dari bermacam suku dan bangsa?

Jawabannya, Allah menciptakan manusia terdiri dari bermacam bangsa dan bermacam-macam suku memiliki hikmah yang sangat besar, yaitu sebagai berikut;

Pertama, ta’aruf. Allah menciptakan manusia terdiri dari bangsa-bangsa dan suku-suku, agar satu sama lain saling mengenal, mengenai namanya, mengenal tradisinya, mengenal agamanya, mengenal menu makanannya dan mengenal struktur alamnya. Dengan saling mengenal akan saling mencintai satu sama lain, saling membantu satu sama lain dalam kebaikan dan bekerjasama dalam mengembangkan peradaban manusia yang diridhoi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua, melihat keagungan Allah. Manusia terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa, agar manusia saling mengenal satu sama lain, dengan saling mengenal akan mengetahui tentang warna kulit manusia yang berbeda-beda dan mengetahui bermacam-macam tradisi yang berbeda-beda, maka dengan demikian manusia tahu dan sadar, bahwa Allah maha kuasa menciptakan manusia, di mana struktur tubuh manusia sama, tapi berbeda warnanya, berbeda karakternya, berbeda tradisinya, bahkan juga berbeda wajahnya, yang dengan perbedaan wajah dapat dibedakan satu sama lainnya.

Ketiga, takwa. Orang-orang yang beriman sadar bahwa Allah itulah yang menciptakan manusia terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa, ada yang hitam, ada yang putih, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang pintar, ada yang awam. Manusia hakikatnya sama di hadapan Allah, yang membedakan satu sama lain adalah ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena manusia tidak menciptakan diri nya sendiri agar menjadi putih atau hitam dan juga tidak memesan kepada Allah agar dirinya menjadi orang yang cantik dan putih. Yang ketepatan cantik dan putih murni semata-mata mata kehendak Allah. Maka karena itu orang yang bertaqwa sadar terhadap kekuasaan Allah dan keagungan Allah serta sadar bahwa tidak ada yang mulia dalam pandangan Allah kecuali bertakwa kepada Allah, maka dia berusaha dengan sungguh-sungguh agar menjadi orang yang bertakwa, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segalanya semata-mata mengharapkan ridho Allah dan takut terhadap azab dan murkaNya.

Keempat, perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia berbeda-beda suku dan bangsanya melahirkan perbedaan karakternya, bahasanya, tradisinya dan agamanya, hal ini mendorong manusia untuk mempelajari karakter manusia, melahirkan ilmu psikologi, terdorong mempelajari sejarah hidupnya melahirkan ilmu antropologi, terdorong pelajari bahasanya, melahirkan ilmu bahasa.

Manusia hendaknya bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala di mana Allah menciptakan manusia terdiri dari berbangsa bangsa dan bersuku-suku, agar manusia mengenal satu sama lain dan mengetahui serta menyadari keagungan Allah. Perbedaan kulit dan bahasa tidak mempengaruhi derajatnya di hadapan Allah, yang membedakan derajatnya manusia di sisi Allah adalah ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, makin tinggi ketakwaan seorang makin tinggi pula derajatnya di sisi Allah. Maka orang yang beriman berusaha mentaati Allah dengan sempurna dan menjauhi larangannya dengan sempurna pula semata-mata karena cinta kepada Allah dan mengharap ridho Allah.

Wallahualam a’lam bish shawab

Bahagia Ada Di Mana?

Oleh: Dr. KH. Abdul Wadud Nafis

Perspektif, Limaloka.com — Setiap orang pasti menginginkan dirinya bahagia, setiap individu berbeda-beda dalam mendefinisikan bahagia dan setiap individu berbeda-beda dalam cara mendapatkan kebahagiaan. Tapi yang menjadi pertanyaan, apa bahagia dan di mana tempatnya?

Ketika seorang itu miskin berpikir bahagia itu ada di dalam kekayaan, tapi setelah kaya ternyata tidak merasakan bahagia. Ketikkan miskin hidupnya terasa sulit dan tidak bahagia, karena kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi, kebutuhan pangan tidak terpenuhi kebutuhan keluarga tidak terpenuhi, kebutuhan pendidikan anak-anaknya tidak terpenuhi dan kebutuhan tempat tinggal tidak terpenuhi. Lalu berpikir bahwa kebahagiaan berada pada kekayaan dan terpenuhinya semua kebutuhan, lalu belajar untuk mencapai kekayaan dan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mendapat kekayaan, kemudian berhasil betul-betul menjadi orang kaya. kan tetapi setelah kaya ternyata kebahagiaan tidak ditemukan, setiap hari sibuk dengan menjalankan bisnis, setiap hari sibuk menjaga ancaman kompetitor yang dapat menghancurkan bisnisnya, sehingga tidak merasakan ketenangan hati, tidak merasakan ketentraman hati dan tidak ditemukan rasa bahagia dalam hatinya. Lalu bertanya, bahagia ada di mana?

Ketika menjadi rakyat jelata berpikir kebahagiaan didapatkan ketika punya jabatan, tapi setelah mempunyai jabatan ternyata tidak mendapatkan kebahagiaan. Ketika menjadi rakyat jelata berpikir, bahwa dirinya menderita karena tidak dihormati oleh orang lain dan keinginannya tidak mudah didapatkan, lalu berusaha dan berjuang untuk mendapatkan jabatan, kemudian betul-betul berhasil menjadi pejabat dan punya jabatan. Setelah mendapatkan jabatan ternyata sibuk di dalam menjalankan tugas-tugas jabatannya dan sibuk mempertahankan jabatannya dari ancaman-ancaman lawan politiknya, sehingga hatinya selalu merasa cemas, terancam dan merasa bingung dan tidak merasakan kebahagiaan dengan jabatan yang dimilikinya. Lalu hatinya, bertanya kebahagiaan ada di mana?

Ketika masih bujangan berpikir, bahwa kebahagiaan didapatkan dengan mempunyai pasangan hidup, tapi kenyataannya setelah punya pasangan hidup tidak mendapatkan kebahagiaan. Ketika seorang laki-laki tidak mempunyai istri hidupnya merasa menderita, karena terasa sunyi dan tidak ada yang dapat menemani dan tidak ada yang dapat menyiapkan kebutuhan sehari-hari, lalu menikah dengan seorang perempuan untuk mendapatkan kebahagiaan, ternyata setelah menikah setiap hari dimarahi istri nya, digugat dan dituntut belanja, maka setiap hari hatinya merasa tertekan dan merasa menderita dan tidak merasakan kebahagiaan. Lalu bertanya, kebahagiaan berada di mana?

Sebenarnya bahagia itu berada di hati individu, setiap orang yang beriman, apabila hatinya sabar dan bersyukur akan merasakan kebahagiaan didalam hatinya, ketika ditimpa suatu kesulitan, berupa kemiskinan hatinya sadar, hatinya yakin bahwa ini ketetapan Allah dan setiap ketetapan Allah pasti ada hikmahnya, maka kesulitan diterima dengan ikhlas, maka hatinya tenang dan tentram, demikian juga ketika mendapatkan kenikmatan berupa kekayaan, jabatan, istri dan popularitas hatinya sadar, bahwa ini adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang wajib disyukuri, maka dengan syukur hatinya bahagia, merasa puas dengan apa yang dimilikinya dan mendapatkan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa ketenangan jiwa.

Orang yang beriman dan sabar serta bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala urusannya selalu dalam keadaan baik. Orang yang sabar dan bersyukur segala urusannya diserahkan kepada Allah dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah yang termaktub dalam Alquran dan hadis nabi. Tetapi sebaliknya orang yang tidak bersyukur segala urusannya itu buruk, karena ketika mendapatkan kesuksesan hatinya merasa sombong dan merasa bahwa ini hasil usahanya sendiri serta hatinya selalu merasa kurang terhadap nikmat yang telah dimilikinya dan tidak merasa puas dengan apa yang didapatkannya, justru yang diinginkan hal-hal yang belum dimilikinya, yang hari ini membawa hatinya merasa menderita dan merasa tidak bahagia.

Orang yang sabar akan menerima terhadap kesulitan yang diberikan oleh Allah pada dirinya dan diterima dengan senang hati karena yakin bahwa musibah yang sedang dihadapi akan membawa karunia dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat dan hatinya yakin bahwa di balik kesulitan pasti ada rahmat Allah akan diberikan kepada dirinya. Perasaan semacam ini melahirkan rasa tenang dan tentram serta tumbuh didalam hatinya rasa bahagia. Akan tetapi orang yang tidak sabar ketika ditimpa suatu musibah hatinya berkeluh resah, bahkan berburuk sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hatinya kesal, jengkel, meratapi keadaan dan tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Perkara setiap mukmin itu menakjubkan. Sesungguhnya setiap urusan mereka adalah kebaikan. Hal ini tidak terjadi kepada seorang pun kecuali bagi orang mukmin. Apabila ia mendapat kebahagiaan, maka ia bersyukur, maka itu baik baginya, dan apabila ia mendapatkan keburukan, maka ia bersabar, dan itu pun baik baginya (HR. Muslim no. 2999).

Wallahu a’lam bish showab

Bersikap Baik Pada Setiap Orang

Foto: Ilustrasi

Penulis: Abdul Wadud Nafis*

Perspektif, Limaloka.com — Islam adalah agama yang menyerukan kedamaian dan mengajarkan mencintai sesama manusia, oleh karena itu umat Islam selalu dituntut bersikap baik pada setiap orang dan bersikap santun pada setiap orang, sikap baik ini ditunjukkan dengan wajah yang berseri-seri dan senyum manis dan tulus ikhlas ketika bertemu dengan orang lain. Sikap baik yang dilakukan oleh orang beriman dengan niat karena mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala adalah merupakan ibadah dan amal saleh yang mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah bersabda:


تَبَسُّمُكَ فِى وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu (HR: at-Tirmidzi).

Sikap baik yang dilakukan oleh orang Islam pada orang lain terpancar dalam pembicaraannya, apa yang dikatakan adalah hal yang baik, apa yang diucapkan membuat orang lain hatinya senang, apa yang diucapkan membuat orang lain saling mencintai dan saling menyayangi, apa yang diucapkan mengandung hikmah dan bijaksana, dan yang keluar dari lidahnya adalah kata-kata yang mengandung kebaikan dan menyerukan kepada kebaikan.

Orang yang selalu berkata baik adalah pertanda bahwa orang itu beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan beriman pada hari ini pembalasan. Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
Barang siapa beriman pada Allah dan hari kiamat hendaknya berkata baik atau diam (HR: Bukhari dan Muslim).

Sikap baik seorang muslim pada orang lain tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk sikap lahir, tapi juga ditunjukkan dengan sikap batin, di mana seorang muslim mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri dengan tulus ikhlas dan semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, apabila dirinya senang diperhatikan orang lain, maka dia memperhatikan orang lain; jika dirinya senang dihormati orang lain, maka dia menghormati orang lain; jika dirinya senang dibantu orang lain, maka membantu orang lain; jika dirinya senang diperhatikan orang lain, maka memperhatikan orang lain; jika dirinya senang diperlakukan santun, maka bersikap santun pada orang lain dan jika dirinya senang diberi hadiah, maka memberi hadiah pada orang lain. Rasulullah bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sesuatu yang dia cintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, ciri khas seorang muslim yang baik adalah bersikap baik kepada sesama muslimnya dan juga kepada setiap manusia, sikap baik ini direalisasikan dengan mencintai yang lain seperti mencintai dirinya sendiri dan dibuktikan dengan sikap yang lembut pada orang lain, menghormati orang lain dan berkata baik kepada orang lain.

Wallahualam a’lam bishawab

Perayaan Satu Abad NU dan Bingkai Keagamaan

Penulis: Dr. Minan Jauhari, M. Sos —

Perspektif, Limaloka.com — Puncak perayaan memperingati satu abad kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) dilaksanakan pada 7 Februari 2023. Untuk menandai seabad usia NU, berbagai acara digelar secara nonstop selama 24 jam di GOR Sidoarjo, Jawa Timur. Salah satu ritualan yang dilaksanakan adalah pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani dan selawatan. Resepsinya dihadiri langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan ulama sedunia.

Yang tidak kalah menarik, rangkaian perayaan seabad NU yang dirancang secara apik ini juga diawali dengan pembacaan istighosah dan puisi serta pemukulan beduk digital. Bahkan, sederet hiburan seperti kasidah, orkhestra, lantunan eolawat, karnaval Nusantara, serta hiburan rakyat lain seperti kuliner Nusantara juga digelar untuk memeriahkan acara ini.

Artikel ini bermaksud mengurai makna di balik meriahnya perayaan satu abad NU yang dikemas dalam beberapa segmentasi. Perayaan 100 tahun NU ini dapat menjadi ruang bagi nahdliyin dalam menegaskan kembali bingkai keagamaan (Islam) sebagai agama yang ramah, toleran, dan kental dengan budaya Nusantara demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

Mengingat segudang pengalaman dalam perjalanannya, khususnya dalam mengawal tatanan kehidupan beragama dan berbangsa selama satu abad ini, berbagai proses dialektika yang telah dialami banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi NU, sehingga menjadi penting untuk ditegaskan kembali dalam momentum memperingati satu abad NU ini.

Apalagi, NU, sebagai organisasi terbesar di Indonesia, yang lahir sejak tahun 1926 ini, telah banyak memberikan warna dan kontribusi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah diikat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga bangsa ini terhindar dari disintegrasi dan tetap terjaga keutuhannya meskipun hingga kini tekanan dari ideologi keagamaan tertentu masih mewarnai ruang-ruang publik yang menjadi pilar penting dalam demokrasi kita.

Sebagai jamiyah terbesar di Indonesia, NU menegaskan dirinya sebagi organisasi yang memiliki komitmen kebangsaan dan siap menjadi penjaga NKRI. Setidaknya, komitmen kebangsaan ini telah ditunjukkan oleh NU sejak muktamar di Banjarmasin pada 1936, Resolusi Jihad 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri adharuri bi as-syaukah, hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir perjuangan umat Islam pada 1984 di Muktamar NU Situbondo.

Sesuai dengan anjuran dalam upaya membangun keutuhan dalam berbangsa adalah yang pernah dipopulerkan oleh KH Achmad Siddiq (1926-1991), salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926, yang juga berperan penting dalam ikut merumuskan fondasi hubungan Islam dan Pancasila.

Dalam sebuah pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, disebutkan bahwa di antara membangun keutuhan bangsa sehingga tidak terjadi disintegrasi, maka keberadaan Islam harus mampu merawat tiga ikatan persaudaraan, yaitu, ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).

Ikatan persaudaraan ini diyakini akan dapat mencairkan ikatan primordial keagamaan, bahkan juga diyakini dapat menjadi modal sossial sehingga dijauhkan dari ancaman disintegrasi bangsa. NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) dipastikan memiliki komitmen dalam upaya merajut berbagai elemen bangsa.

Cinta tanah air ini dipahami sebagai salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Jargon ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari melalui hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Karena itulah menjadi tepat jika terus disematkan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat, dan siap menjadi penjaga NKRI.

 Islam yang Ramah

Membangun bingkai keagamaan yang ramah menjadi penting. Mengingat representasi Islam di Indonesia, khusus bingkai keagamaan yang akhir-akhir ini banyak ditampilkan melalui media-media baru banyak ditandai oleh warna-warni paham ideologi keagamaan.

Hal ini terjadi, selain karena perkembangan masyarakat saat ini lebih ditandai oleh penggunaan teknologi informasi yang cenderung bebas dalam berekspresi, sehingga fasilitas kebebasan ini juga membuka lebar bagi komunitas tertentu untuk eksis bahkan juga berupaya menguasai ruang-ruang baru itu sebagai tempat berekspresi dalam bentuk aksi-aksi dakwah.

Meski dalam aktivitas dakwah, terkadang juga menghasilkan perdebatan-perdebatan paham keagamaan yang tidak pernah ada ujungnya. Apalagi sebagian aktivitas dakwah itu harus dilakukan dengan menggunakan cara pandang  yang cenderung provokatif dan penuh dengan kebencian terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Sehingga pesan keagamaan yang ditampilkan  tidak menunjukkan sikap moderat, toleran, bahkan terkesan penuh dengan nuansa kebencian terhadap komunitas yang berbeda.

Karena itulah keberadaan NU yang lekat dengan nilai-nilai keaswajaan seperti tawasuth, tawazun, dan iktidal ketika dihadapkan pada perbedaan menjadi penting agar bisa ikut terlibat secara aktif mewarnai paham keagamaan, khususnya yang diekspresikan dalam ruang-ruang baru.

Semisal kehadiran NU yang selama ini telah dijalankan melalui NU Online, dan beberapa situs yang lain sehingga dapat memberikan paham keberimbangan bagi khalayak.Terlebih lagi bila NU melalui ruang semacam ini bisa tampil dan menampilkan Islam sebagai agama yang ramah, agama yang moderat dan penuh dengan toleransi, bukan menampilkan Islam sebagai agama yang galak dan intoleran.

Tentu, sebagai ormas Islam dengan basis massa yang besar, NU juga memiliki tanggung jawab besar. Karena itulah NU harus selalu berkomitmen untuk melindungi umatnya dari ancaman paham keagamaan yang disebarkan oleh komunitas keagamaan dengan ideologi-ideologi yang cenderung radikal.

Hemat penulis, dengan perayaan satu abad NU ini, sesungguhnya juga dapat menjadi ruang yang sangat strategis sebagai sarana untuk menegaskan kembali tentang bingkai keagamaan (Islam), yaitu sebagai agama yang ramah, toleran, dan kental dengan budaya Nusantara.

Dalam perspektif ilmu komunikasi, kegiatan perayaan semacam ini dapat dipahami sebagai media komunikasi yang strategis. Karena itulah bingkai keagamaan, yaitu memahami Islam sebagai agama yang toleran sebagaimana nilai yang terus disematkan kepada NU ini, dapat diteguhkan melalui peringatan satu abad NU ini.

Minimal, peringatan ini bisa menjadi ruang berbagai pengalaman perjalanan NU, terutama selama NU mengawal tatanan kehidupan beragama dan berbangsa yang telah diikat dalam sistem NKRI.

Bingkai keagamaan ini juga bisa menjadi wujud komitmen dalam menjalankan kehidupan berbangsa, sehingga NU turut bertanggung jawab ikut memastikan bahwa bangsa ini benar-benar terhindar dari disintegrasi dan terjaga keutuhannya. Spirit pembaharu ini selaras dengan tema Harlah 1 Abad NU, yaitu “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”.

Mengurai Watak Moderasi Beragama

Persepktif, Limaloka.com — Keragaman dan perbedaan merupakan sunatullah yang tidak dapat dielakkan dari panggung kehidupan (conditio sine quo non), karena itu salah satu tantangan serius dalam kehidupan beragama dewasa ini adalah bagaimana seorang penganut agama dapat mendefinisikan dan memposisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama orang lain yang berbeda dan beragam. Lebih-lebih,  ditengah pusaran kencangnya arus global dimana persentuhan dan pergaulan antar umat beragama semakin dekat dan intens.

Watak semua agama adalah mencita-citakan kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Tidak ada satu agamapun yang secara teologis membenarkan pemeluknya memusuhi pemeluk agama lain. Doktrin teologis semua agama menganjurkan pemeluknya mengembangkan sikap akseptasi (kesediaan menerima keanekaragaman), apresiasi (menghargai keyakinan yang dianut kelompok lain) dan ko-eksistensi (kesediaan untuk hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan membiarkan kelompok lain ada).

Namun demikian, kendati di kalangan umat beragama meyakini bahwa doktrin agama mereka dipenuhi pesan-pesan  persaudaraan dan kasih sayang antara sesama manusia, tetapi tidak dengan sendirinya agama menjadi garansi bagi terciptanya perdamaian. Bahkan dalam perspektif tertentu, agama seringkali mewujudkan dirinya sebagai pisau bermata dua; ia mendukung perdamaian, namun ia juga menyediakan bahan bakar untuk membrangus perdamaian manusia. atas nama agama, manusia memupuk persaudaraan dan persahabatan. Tapi atas nama agama pula manusia saling bermusuhan bahkan saling membunuh satu sama lain.

Dalam banyak kasus, umat beragama masih sulit membedakan mana doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks-teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks-teks suci (yang sarat bias kepentingan politis, sosiologis, pragmatis). Tumpang tindih antara yang konsepsional normatif dengan yang operasional interpretatif  pada wilayah keagamaan pada gilirannya menjadi embrio konflik.

Nah, untuk  menyudahi terjadinya konflik dikalangan umat beragama, sekaligus mengembalikan agama pada fungsi dasarnya sebagai payung harmoni, ketentraman dan kedamaian, maka sikap moderat dan dialog antar umat beragama menjadi urgen dikembangkan sebagai instrumen guna membuka kerangka hubungan dan kerjasama yang saling menentramkan, sekaligus sebagai upaya memperluas inklusifitas visi religiusitas kaum beragama.

Keberagamaan moderat merupakan sebuah cara beragama yang lapang dan terbuka. Sikap terbuka ini akan berdampak pada relasi sosial yang sejuk, sehat dan harmonis antar sesama penganut agama.  Hal ini  berlandaskan toleransi dan penghormatan akan kebebasan setiap orang untuk meyakini, menjalani dan mengekspresikan agama yang dianutnya, perbedaan cara beragama ini tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya saling menghormati, menghargai, dan bekerjasama.

Keberagamaan  moderat merupakan proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai dasar dan ideal ajaran agama yang berusaha mengaksentuasikan aspek-aspek perbedaan dan disparitas kemanusiaan dalam konteksnya yang luas sebagai suatu sunnatulloh yang mesti diterima dengan penuh kearifan  dan lapang dada di tengah kenyataan kemanusiaan yang plural dalam segala dimensinya guna mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan. Hal ini merupakan usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif terhadap pluralitas dalam dimensi dan perspektif apapun, karena Islam moderat memiliki visi dan misi untuk mewujudkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif dan peduli terhadap persoalan hidup umat manusia yang komunal transformatif.

Moderasi agama merupakan salah satu pengejawantahan rahmatan lil alamin dan telah dicontohkan secara memukau oleh Rasululloh dan sahabatnya di Madinah. Itulah wajah Islam yang orisinil yakni Islam yang moderat, toleran, ramah dan akomodatif.  Model beragama seperti ini, selain secara internal dapat melahirkan konfigurasi keberagamaan yang bijak, menentramkan dan hanif sesuai fitrah asasi manusia, juga secara eksternal dapat mengkonstruk cara beragama yang lapang dan terbuka serta mengutamakan titik temu dan harmonisasi dalam membangun kehidupan majemuk sehingga keberagamaan betul-betul berfungsi secara efektif sebagai rahmat bagi seluruh mahluk Tuhan.

Sementara itu, dialog umat beragama dinilai penting untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar umat agama. Ketertutupan hubungan antar umat beragama ditengarai mudah menimbulkan kesalah fahaman dan prasangka yang memicu hubungan tidak perfeks antar penganut agama. Untuk meminimalisir impac negatif dari ketertutupan itu, maka mentradisikan dialog dinilai strategis sebagai wahana bagi kerinduan antar umat beragama untuk bertemu secara sejati dan tidak sekedar bersifat  verbalis formalistik.

Dialog bisa diartikan sebagai pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk agama. Dialog adalah jalan bersama untuk mencapai kebenaran dan kerjasama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Ia merupakan perjumpaan antar pemeluk agama, tanpa merasa rendah dan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dirahasiakan. Dialog keagamaan muncul, ketika hubungan antar umat beragama mengalami keretakan dan ketegangan. Mungkin saja, ketegangan itu bukan didasarkan atas perbedaan keyakinan, karena, jika dasar teologis dan doktrinal dari agama-agama mengajarkan sikap toleransi, saling menghormati dan mencintai, maka penyebab gesekan-gesekan dan keretakan itu bisa saja terjadi sebagai akibat bias dari kepentingan politik, ekonomi, sosiologis, dan pragmatis lainnya

Konflik berlatar agama seringkali bersumber dari saling “ketidaktahuan” diantara penganut agama. Saling ketidaktahuan ini, menjadi rintangan di tengah jalan untuk mencapai saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda. Akibat ketidaktahuan itu, maka setiap agama menerapkan standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian standar yang berbeda untuk kepercayaan orang lain. Terjadinya dialog ada hubungannya dengan pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami agama kita sendiri.

Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting bagi para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah pengertian dan dialog berjalan secara harmonis, dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama. Sebab, kedua nilai itu merupakan ‘esensi kemanusiaan’ yang diajarkan semua agama. Untuk memahami agama orang lain itu harus bertolak dari pemahaman yang bersipat integral bukan parsial. Disini diperlukan minimal dua persiapan dialog, yakni kesiapan intelektual dan kedewasaan emosional.

Mau bergabung sebagai Kontributor?

Silahkan daftarkan diri anda dengan mengisi data berikut: