Nalar Pengusaha Mall dan Pengelola Lembaga Pendidikan

Perspektif, limaloka.com — Hari ini terlihat banyak anak anak membawa peralatan menggambar disebuah mall terbesar di Jember, ternyata ada event lomba menggambar khusus anak anak terutama pada satuan pendidikan taman kanak kanak. Menggambar adalah salah satu aktivitas yang menyenangkan buat anak anak, selain mengasah kreativitas, ekplorasi imajinasi serta pengembangan motorik anak bisa di bangun melalui kegiatan ini.

Kenapa harus di Mall?

Ini yang masih menjadi kegundahan, mall yang indentik dengan penjualan barang barang branded, permainan game, foodcourt, pameran pameran produk mahal dan tempat kongkow, dijadikan tempat untuk aktivitas anak anak dalam mengasah kompetensinya.

Konstruksi pengalaman belajar yang disandingkan dengan tempat seperti ini dikhawatirkan akan menginternalisasi pada perilaku anak, semisal konsumtif, perilaku tidak mengahargai barang yang masih bisa dimanfaatakan, makan harus pada tempat yang bernuasan mall, belanja harus ke mall, karena bagaimanapun perkembangan anak akan dipengaruhi oleh pengamalan belajar dari lingkungan sekitarnya.

Paradigma Pengusaha Mall

Jelas, pengusaha mall akan berusaha mempertahankan eksistensi bisnisnya, bahkan selalu membuat research dan analisa tentang keinginan dan harapan semua orang, melalui konsep tata ruang, tempat parkir, kelengkapan produk, tata letak barang dan lain sebagainya.

Termasuk ideologi tentang usahanya yang harus dikenalkan melalui arus bawah. anak anak harus kenal apa itu mall, apa saja yang ada di dalam mall, permainan apa saja yang ada di dalam mall.

Program mengatasnamakan pendidikan bisa dilaksanakan di dalam mall sebagai wujud pelanggengan bisnis melalui sosialisasi alam bawah sadar tentang mall. tidak jarang mall mengadakan even berbalut pendidikan dengan berbagai macam, lomba menggambar, cerdas cermat, lomba menghafal surat pendek Al Qur’an, baca pusi dan lain lain sebagai misi sosialisasi dalam konstruksi keuntungan.

Pengelola Lembaga Pendidikan Mengikuti Arus Pengusaha

Pengelola lembaga pendidikan kadang kurang jeli melihat dampak bagi perkembangan anak yang bisa saja lambat laun akan mempengaruhi kepribadian dan life style anak ke depan. Lembaga pendidikan mungkin diuntungkan dengan pemberian tempat pembelajaran yang gratis, fasilitas gratis, kalaupun tidak gratis bayar murah, yang seolah olah nyaman bagi anak untuk berkreasi.

Pengelola lembaga pendidikan harusnya lebih bisa mencermati bahwa pengalaman belajar akan menjadi pengetahuan yang kadang masih tersimpan dalam alam bawah sadar anak, yang suatu waktu akan direspon ketika ada stimulus muncul dari luar.

Mutualis atau parasitis??

Banyak yang menganggap bahwa ini adalah sebuah kerjasama yang sama sama menguntungkan. Pengusaha diuntungkan tentang sosialisasi usahanya dan dampak dari sosialisasinya, baik langsung maupun tak langsung.

Berapa banyak uang mengalir ke kantong pengusaha atas dampak kegiatan yang diadakan, anak anak langsung turun ke game zone setelah kegiatan selesai, anak anak juga membeli snack dan makanan yang harganya cukup mahal, pengelola lembaga pendidikan seolah olah diuntungkan diberikan tempat dan fasilitas gratis untuk kegiatan belajar.

Atas nama prestise, atas nama privilege, atas nama brand mall menjadikan antusiasme pengelola lembaga pendidikan untuk mengikut sertakan anak didiknya dalam kegiatan yang diadakan di mall

Pembelajaran sesat, sebuah konstruksi belajar yang dibangun lepas dari tujuan pendidikan dan kaidah kaidah nilai pembelajaran. Kalau ini dibiarkan bisa menjadi boomerang pada perkembangan mental kepribadian anak. Mental generasi friksi dimulai dari penanaman pengalaman belajar yang kurang tepat.

Gaya hidup hedon, gaya hidup eksklusive, gaya hidup elit terkadang dibangun melalui pengalaman belajar yang tidak relevan antara tempat dan kegiatan belajar anak dan ini bagian dari sismbiosis parasitisasi pembelajaran.

Mau bergabung sebagai Kontributor?

Silahkan daftarkan diri anda dengan mengisi data berikut: